Rabu, 20 Februari 2013

pancasila


 

Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.

Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Mohammad Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.

Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu[1]:
1.    Peri Kebangsaan
2.    Peri Kemanusiaan
3.    Peri ke-Tuhanan
4.    Peri Kerakyatan
5.    Kesejahteraan Rakyat

Rumusan Tertulis

Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu[2]:
1.    Ketuhanan Yang Maha Esa
2.    Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.    Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan II: Soekarno, Ir.

Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[3]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila[4].

Rumusan Pancasila [5]

1.    Kebangsaan Indonesia
2.    Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.    Mufakat,-atau demokrasi
4.    Kesejahteraan sosial
5.    ke-Tuhanan yang maha esa

 

Rumusan Trisila [6]

1.    Socio-nationalisme
2.    Socio-demokratie
3.    ke-Tuhanan

Rumusan Ekasila [7]

1.    Gotong-Royong

Rumusan III: Piagam Jakarta

Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa".

Rumusan kalimat [8]

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Alternatif pembacaan

Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
[A] dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;]
serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.    Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.    Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.    Persatuan Indonesia
4.    Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.    Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan populer

Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
1.    Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.    Persatuan Indonesia
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan IV: BPUPKI

Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas[9].

Rumusan kalimat [10]

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.    Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.    Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.    Persatuan Indonesia
4.    Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.    Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan V: PPKI

Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.

Rumusan kalimat [11]

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.    ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.    Persatuan Indonesia
4.    Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.    Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan VI: Konstitusi RIS

Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.

Rumusan kalimat [12]

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.    ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.    perikemanusiaan,
3.    kebangsaan,
4.    kerakyatan
5.    dan keadilan sosial

Rumusan VII: UUD Sementara

Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT[13], dan NST[14]. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.

Rumusan kalimat[15]

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.    ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.    perikemanusiaan,
3.    kebangsaan,
4.    kerakyatan
5.    dan keadilan sosial

Rumusan VIII: UUD 1945

Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
1.    Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
2.    Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Rumusan kalimat [16]

“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.    Persatuan Indonesia
4.    Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.    Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan IX: Versi Berbeda[17]

Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Rumusan

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.    Persatuan Indonesia
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.    Keadilan sosial.

Rumusan X: Versi Populer[18]

Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)

Rumusan

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.    Persatuan Indonesia
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Epilog

“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, sebelum panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (独立準備委員会 Dokuritsu Junbi Inkai?, lit. Komite Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Badan ini merupakan badan yang dibentuk sebelum MPR dibentuk.[1].

Keanggotaan

Title: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar anggota BPUPKI-PPKI
Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa). Susunan awal anggota PPKI adalah sebagai berikut[2] [3]:
1.    Ir. Soekarno (Ketua)
2.    Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
3.    Prof. Mr. Dr. Soepomo (Anggota)
4.    KRT Radjiman Wedyodiningrat (Anggota)
5.    R. P. Soeroso (Anggota)
6.    Soetardjo Kartohadikoesoemo (Anggota)
7.    Kiai Abdoel Wachid Hasjim (Anggota)
8.    Ki Bagus Hadikusumo (Anggota)
9.    Otto Iskandardinata (Anggota)
10.                        Abdoel Kadir (Anggota)
11.                        Pangeran Soerjohamidjojo (Anggota)
12.                        Pangeran Poerbojo (Anggota)
13.                        Dr. Mohammad Amir (Anggota)
14.                        Mr. Abdul Maghfar (Anggota)
15.                        Mr. Teuku Mohammad Hasan (Anggota)
16.                        Dr. GSSJ Ratulangi (Anggota)[4]
17.                        Andi Pangerang (Anggota)
18.                        A.H. Hamidan (Anggota)
19.                        I Goesti Ketoet Poedja (Anggota)
20.                        Mr. Johannes Latuharhary (Anggota)
21.                        Drs. Yap Tjwan Bing (Anggota)
Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 yaitu[5] :
1.    Achmad Soebardjo (Penasehat)
2.    Sajoeti Melik (Anggota)
3.    Ki Hadjar Dewantara (Anggota)
4.    R.A.A. Wiranatakoesoema (Anggota)
5.    Kasman Singodimedjo (Anggota)
6.    Iwa Koesoemasoemantri (Anggota)

Persidangan

Tanggal 9 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi. Setelah pertemuan tersebut, PPKI tidak dapat bertugas karena para pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan atas nama PPKI, yang dianggap merupakan alat buatan Jepang. Bahkan rencana rapat 16 Agustus 1945 tidak dapat terlaksana karena terjadi peristiwa Rengasdengklok[6].

Sidang 18 Agustus 1945

Setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang di bekas Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon.[7]

Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum disahkan, terdapat perubahan dalam UUD 1945, yaitu:
1.    Kata Muqaddimah diganti dengan kata Pembukaan.
2.    Pada pembukaan alenia keempat anak kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
3.    Pada pembukaan alenia keempat anak kalimat Menurut kemanusiaan yang adil dan beradab diganti menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab.
4.    Pada Pasal 6 Ayat (1) yang semula berbunyi Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam diganti menjadi Presiden adalah orang Indonesia Asli.

Memilih dan Mengangkat Presiden dan Wakil Presiden

Pemilihan Presiden dan Wakil Presidan dilakukan dengan aklamasi atas usul dari Otto Iskandardinata dan mengusulkan agar Ir. Soekarno menjadi presiden dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden. Usul ini diterima oleh seluruh anggota PPKI.

Tugas Presiden sementara dibantu oleh Komite Nasional sebelum dibentuknya MPR dan DPR

Title: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Komite Nasional Indonesia Pusat

Sidang 19 Agustus 1945

PPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945.[8]

Membentuk 12 Kementerian dan 4 Menteri Negara

Title: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kabinet Presidensial

Membentuk Pemerintahan Daerah

Memahami  Piagam  Jakarta
Oleh IRFAN ANSHORY
DEKRIT Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945, menegaskan: "Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut." Mengapa dalam Dekrit Presiden atas nama rakyat Indonesia itu terkandung pernyataan demikian?

Pergerakan-pergerak an kemerdekaan Indonesia
yang dimulai sejak awal abad ke-20 telah menunjukkan bipolarisasi: pergerakan nasionalis "sekuler" berdasarkan kebangsaan, dan pergerakan nasionalis "islami" berdasarkan Islam. Kedua paham ini mewarnai Sidang Pertama Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945.

Sidang tersebut beracara tunggal, yaitu menentukan dasar negara Indonesia. Anggota Badan Penyelidik terbagi menjadi dua kelompok: yang menghendaki "negara Islam" dan yang menghendaki "bukan negara Islam". Pada hari terakhir sidang tanggal 1 Juni, Sukarno sebagai anggota Badan Penyelidik mengajukan usul lima
dasar negara yang dinamainya Pancasila: (1) Kebangsaan; (2) Internasionalisme; (3) Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan. Sukarno menegaskan, dengan sila Demokrasi hukum-hukum Islam dapat diundangkan melalui badan perwakilan rakyat.

Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat meneduhkan pertentangan yang mulai menajam. Terbentuklah Panitia Sembilan untuk menyusun Pembukaan UUD, terdiri dari lima nasionalis sekuler (Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin) serta empat nasionalis islami (Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, dan Wahid Hasjim).

Dalam Pembukaan UUD yang mereka susun pada 22 Juni 1945, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, Pancasila dirumuskan untuk pertama kalinya sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) ini diterima bulat oleh Badan Penyelidik dalam Sidang Kedua dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945 setelah melalui perdebatan sengit. Sidang Kedua itu pun berhasil menyusun batang tubuh UUD.

Pada 7 Agustus 1945 terbentuklah Dokuritsu Junbi Iinkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan) . Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, 18 Agustus 1945, mereka bersidang untuk mengesahkan UUD hasil susunan Badan Penyelidik. Berdasarkan usul seorang perwira Angkatan Laut Jepang kepada Bung Hatta (dalam buku Sekitar Proklamasi, Hatta mengatakan perwira itu mengaku membawa suara umat Kristen di Indonesia Timur), ternyata sidang Panitia Persiapan itu mencoret kalimat-kalimat dalam UUD yang berisi kata-kata "Islam". Sila pertama Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua sampai kelima tidak mengalami perubahan. Hari itu juga UUD disahkan dan dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945.

Akan tetapi, UUD 1945 hanya bertahan empat tahun.* Pada tahun 1949 kita memakai UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Setahun kemudian berlaku UUD Sementara 1950. Pada tahun 1955 diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15 Desember). Konstituante bertugas menyusun UUD permanen.

Dalam sidang-sidang Konstituante yang berlangsung sejak pelantikan anggotanya tanggal 10 November 1956, fraksi-fraksi Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, Gerpis, dan Penyaluran) memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Menurut mereka, Pancasila harus hidup dalam asuhan dan rawatan Islam. Jika tidak demikian, Pancasila akan ditelan komunisme. Namun, fraksi-fraksi lainnya keberatan. Sidang-sidang konstituante yang berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, menjadi berlarut-larut lebih dari dua tahun.

Pada tanggal 19 Februari 1959, Dewan Menteri (Kabinet) yang dipimpin Perdana Menteri Ir. H. Djuanda memutuskan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Keputusan itu diajukan ke DPR 2 Maret. Lalu pada 22 April, Presiden Sukarno di depan Sidang Konstituante memohon agar Konstituante memutuskan berlakunya kembali UUD 1945.

Fraksi-fraksi Islam menyetujui dengan usul agar pada kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945 ditambahkan anak kalimat (tujuh kata) "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sesuai dengan konsep asli UUD 1945. Pemungutan suara mengenai usul ini berlangsung pada 29 Mei, dengan hasil 201 anggota setuju dan 265 menolak.

Kemudian pada 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni diadakan pemungutan suara mengenai usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa penambahan yang diusulkan fraksi-fraksi Islam. Pada hari pertama 269 setuju, 199 menolak. Hari kedua 264 setuju, 204 menolak. Hari ketiga 263 setuju, 203 menolak. Baik usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 maupun usul penambahan dari fraksi-fraksi Islam, tidak diterima konstituante sebab kedua usul itu sama-sama tidak berhasil meraih dua pertiga suara anggota yang hadir
(Pasal 137 UUDS 1950).

Akibat kemacetan Konstituante itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit (Keputusan Presiden RI No. 150 Tahun 1959) yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Dekrit Presiden ini diterima secara aklamasi oleh DPR (44% anggotanya adalah fraksi-fraksi Islam termasuk Masyumi) pada tanggal 22 Juli 1959.

Kekuatan hukum Dekrit 5 Juli 1959 serta hubungan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta dipertegas dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966. Ketetapan MPR(S) itu pun menegaskan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah sekalipun
oleh MPR hasil pemilihan umum.

Ada baiknya kita menyimak pernyataan Bung Hatta tentang kejadian 18 Agustus 1945: "Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dan menggantinya dengan 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Dalam Negara Indonesia yang memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia"
(Sekitar Proklamasi, Jakarta, 1969, hal. 58). Sudah tentu yang dimaksudkan Bung Hatta dengan "kami" adalah anggota-anggota Panitia Persiapan yang mengesahkan UUD 1945 pada tanggal tersebut.

Bagaimanapun, Piagam Jakarta tak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Jika kita berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, janganlah lupa bahwa Pembukaan UUD 1945 itu berasal dari Piagam Jakarta. Bahkan sebenarnya yang pantas dijuluki Hari Lahir
Pancasila adalah 22 Juni 1945 sebab pada hari itulah Pancasila sebagai dasar negara pertama kali dirumuskan.

Pada tahun 1975, atas anjuran Presiden Soeharto, terbentuklah Panitia Pancasila terdiri dari lima orang: Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, Sunario, dan A. G. Pringgodigdo (Panitia Lima). Mereka dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Hasil pemikiran Panitia Lima
telah dibukukan dengan judul Uraian Pancasila (Jakarta, 1977).
Dalam kata pengantar buku itu, Panitia Lima menegaskan: "Sebetulnya Panitia itu harus terdiri dari bekas Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian disebut Piagam Jakarta."***

** Penulis, mantan Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat 1995-2000.
Back to top                          Reply to sender | Reply to group | Reply via web post
Messages in this topic (1)

CATATAN BETA :
Dalam aktualisasi (actually) sesuai fakta (in fact) sejarah, apa yang dikatakan oleh penulis (dan begitu pula anggapan banyak orang) tentang “Akan tetapi, UUD 1945 hanya bertahan empat tahun.*” sebenarnya KELIRU. Sebab sejak bulan 1945, sesungguhnya UUD 1945 tidak diberlakukan lagi sebagai konstitusi.
Ke’tidak-berlaku’an itu ditandai oleh sejumlah perubahan mendasar terhadap struktur dan sistem pemerintahan. Tercatat di sini adalah perubahan dari sistem ‘kepresidenan’ yang presidensil, di mana presiden sebagai kepala negara merangkap juga kepala pemerintahan, diganti menjadi sistem yang parlementer. Di mana presiden jadi hanya berfungsi sebagai kepala negara. Sebab, kepala pemerintahan lalu dijabat oleh Perdana Menteri, dalam hal ini Sutan Sjahrir, yang sebelumnya dijadikan sebagai Kepala Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Ihwal itu semua bermula akibat dari perkembangan keadaan beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Isu bahwa kedatangan Pasukan Sekutu pimpinan Inggris bukan sekedar akan melucuti Bala Tentara Jepang, tapi juga untuk  membubarkan negara baru Republik Indonesia, karena dianggap tidak syah dan cuma negara boneka buatan Jepang, ikut memanaskan suasana politik. (Ingat, BPUPKI itu badan yang dibentuk oleh Pasukan Pendudukan Jepang). Isu ini ditambah dengan rumor, bahwa Pasukan Sekutu juga akan menangkap Soekarno Hatta yang dituduh sebagai penjahat perang’ untuk diadili akibat ber-kolaborasi dengan Jepang. 
Suasana ketidak pastian membuat Wakil Presiden Mohammad Hatta tertanggal 3 November 1945 memberlakukan Maklumat X, yang notabene malah memunculkan masalah pelanggaran serius terhadap UUD 1945. Karena berdasarkan Maklumat X itu, kabinet yang merupakan bagian dari pemerintahan eksekutif harus tunduk kepada parlemen. Padahal UUD 1945 menetapkan, institusi kepresidenan sebagai puncak pemerintahan eksekutif, DPR puncak pemerintahan legislatif dan Mahkamah Agung adalah puncak pemerintahan yudikatif.
Pada tahun 1949 kita memakai UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Setahun kemudian berlaku UUD Sementara 1950. Pada tahun 1955 diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15 Desember). Konstituante bertugas menyusun UUD permanen.
Maklumat X, menurut (antara lain, KH Abdurrahman Wahid, saat menjabat Presiden RI, telah melanggar UUD 1945. Kesalahan Wakil Presiden M Hatta ini, menurut Gus Dur, kemudian dikoreksi oleh Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, yang meletakkan pemerintahan kepada sendi-sendi parlementer.
Setelah itu pemerintahan jatuh bangun, maka tahun 1959 rancangan undang-undang dasar ditolak oleh Dewan Konstituante. Akibatnya, tidak ada undang-undang dasar, maka muncullah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Perubahan yang terjadi saat itu ialah pergeseran dari pemerintahan liberal ke pemerintahan otokratis Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpin-nya. Pemerintahan Soeharto pun melanjutkan pemerintahan otokratis ini, yang ditempuh secara fasis.

0 komentar:

Posting Komentar